Sabtu, 13 Maret 2021

Sejarah Lombok, epik budak

 Ampenan 1889 : Sahbandar Eksekusi Mati Budak Pelarian

Jauh di pedalaman abad ke 18, ketika perbudakan dianggap sebagai sebuah kelaziman. Budak menjadi salah satu komoditas ekspor utama dari Bali dan Nusa Tenggara. Para penguasa menjadikan manusia sebagai komoditas perdagangan yang menggiurkan.

———————————-

19 September 1889, The Brisbane Courier mengulas sebuah kabar memilukan dari pesisir Ampenan bertajuk “SLAVERY IN LOMBOK,”. Koran terbitan Australia ini memuat berita eksekusi mati terhadap budak yang dilakukan Sahbandar Pelabuhan Ampenan Said Abdullah.

Hari itu 1 Agustus 1889 sekitar pukul 11 pagi. Empat orang budak diarak ke tepi pantai. Dua laki-laki berusia sekitar 10 dan 20 tahun dan dua perempuan 20 dan 25 tahun. Mereka bersiap menanti maut setelah upaya pelarian yang gagal. Tak dijelaskan apa alasan para budak ini lari dari majikan.

Yang jelas, perahu yang mereka pakai untuk kabur ke Buleleng terhempas gelombang dan terdampar di wilayah Karang Asem, Bali. Saat itu Karang Asem adalah bagian dari Kerajaan Mataram Lombok. Lekas Putra Said Abdullah menjemput para pelarian untuk mendapat hukuman.

Baca Juga : Lombok 1934 : Jejak Gemilang Bandara Rambang

Kliping koran Brisbane Courier tanggal 19 September 1889 di halaman 7 memuat sebuah berita bertajuk “Slavery in Lombok”. Berita ini mengisahkan eksekusi mati terhadap budak di Ampenan Lombok. (Sumber :trove.nla.gov.au)

Setibanya di Ampenan eksekusi langsung dijalankan tanpa proses peradilan. Dua lelaki malang ini ditikam hingga tewas di hadapan ratusan warga yang datang menyaksikan. Sementara dua rekan perempuannya dipaksa menunggu giliran sembari menyaksikan dua temannya dihabisi.

Melihat eksekusi ini dua warga Armenia yang ada di lokasi sempat mencegah eksekusi. Mereka ingin membebaskan para budak dengan menebus 400 dollar. Harga yang cukup tinggi untuk budak di masa itu. Namun Said Abdullah menolak. Ia tetap melanjutkan eksekusi dan memberi pelajaran agar tidak ada budak yang coba-coba melarikan diri lagi.

Nasib lebih mengerikan didapat dua budak perempuan lainnya. Mereka dihukum dengan cara yang tak kalah pedih. Keduanya dibawa ke rumah Said Abdulah. Seorang diantaranya digantung dengan tangan terikat di atas kepala pada sebuah batang pohon selama tiga jam.

Baca Juga : Operasi Starfish 1945: Misi Rahasia Australia yang Gagal di Sekotong

Ia kemudian menerima 50 kali cambukan dengan rotan. Rekannya lebih sadis lagi. Hidung dan telinganya dipotong kemudian ditelanjangi dan menerima delapan puluh cambukan rotan. Tak berhenti disini bekas luka cambukan dilumuri campuran garam, asam dan cuka. Si Pesakitan meringis kesakitan hingga tak sadarkan diri.

Saksi mata dalam berita tersebut menjelaskan eksekusi hukuman para budak dengan cara barbar tersebut bukan kali ini saja. Ini adalah praktik umum dari para pemilik budak di masa itu. Bahkan Ia menyebut Said Abdullah saja telah menghabisi puluhan budaknya.

Di atas kertas Raja Mataram, Anak Agung Gede Ngurah yang berkuasa tahun itu memang sudah melarang perbudakan. Namun ia disebut tak mencegah aksi keji yang dilakukan para pejabatnya termasuk Said Abdullah.

Secara resmi pemerintah Hindia Belanda telah melarang perbudakan sejak 1860. Hanya saja praktik ini tak sepenuhnya bisa dihentikan. Penolakan muncul baik dari para tuan tanah pengguna budak maupun raja-raja yang selama ini memanen untung dari perdagangan manusia. Penolakan terbesar terutama datang dari wilayah-wilayah yang belum sepenuhnya dalam penguasaan Belanda seperti Bali dan Lombok.

Kapal para perompak pemburu budak di Perairan Sulu Philippina Selatan tahun 1850. (Image Source ; Wikipedia)

 

Berdagang Budak Sejak Lama

Sementara itu Tome Pires dalam Suma Oriental menyebut di Pulau Sangeang, terdapat sebuah pasar yang disinggahi para penjelajah dari berbagai negara. Disinilah barang-barang diperdagangkan termasuk para budak yang dilelang oleh para perompak (bajak laut).

Pernyataan ini juga diperkuat oleh kesaksian Duarte Barbosa (The Book of Duarte Barbosa) yang singgah di Perairan Sumbawa tahun 1516. Di tempat ini para pedagang dari Jawa dan Malaka tak hanya memburu Kayu Cendana, Kayu Sepang, Kuda dan Madu. Namun budak-budak murah diangkut sebelum dijual ke bandar-bandar utama di utara Jawa dan semenanjung Malaya.

Selain itu Kerajaan Bima memang terkenal sebagai pemasok budak terbesar ke Batavia. Soal budak ini terlihat jelas dari lembar-lembar catatan kerajaan. Seperti ditulis kembali Henri Chambert-Loir-Siti Maryam Salahuddin dalam Bo Sangaji KaiCatatan Kerajaan Bima di lembar ke 45 yang berbunyi.

“…HATTA MAKA HARI ISNIN SEBELAS HARI BULAN SYAWAL SUDAH PUKUL EMPAT JAM, TATKALA ITULAH DATANG MENGADAP KARAENG GOLO DENGAN SEGALA DALU-DALU BESERTA HADIAHNYA BUDAK EMPAT ORANG, DUA LAKI-LAKI, DUA PEREMPUAN DAN LILIN TUJUH KATI, KERBAU EMPAT EKOR, BERAS SEPULUH USUNGAN, DAN AYAM SATU USUNGAN…”

Petikan ini mengisahkan tentang kedatangan Karaeng Galo bersama para dalu dengan membawa hadiah kepada sultan awal Juni 1727. Sultan Bima mengambil budak dari wilayah kekuasaanya di Sumba dan Manggarai. Sejumlah sumber menyebut nama Manggarai di Jakarta kini terkait dengan penampungan budak-budak yang didatangkan dari Kerajaan Bima.

Tingginya permintaan Budak ini tak terlepas dari tumbuhnya perekonomian di Jawa, Sumatera dan sejumlah koloni Eropa di Bourbon dan Mauritius. Ladang-ladang perkebunan membutuhkan tenaga kerja murah. Demikian halnya kota-kota pelabuhan yang tumbuh bersama para penjajah Eropa yang tiba membutuhkan lusinan babu, juru masak hingga gundik.

Baca Juga : Lombok 1856 : Kisah Raja Mataram Memberantas Korupsi

Adakalanya juga para budak dibeli sebagai prajurit yang menjaga kastil-kastil para tuan tanah. Kisah Kaoem Depok misalnya. Mereka adalah para budak tuan tanah Cornelis Chastelein yang kemudian mewarisi tanah dan tata hidup sang tuan.

Para budak tersebut datang dari berbagai daerah. Setelah Cornelis Chastelein meninggal mereka menguasai lebih dari 1000 hektare tanah di Depok sebelum diambil alih pemerintah republik tahun 1950

Jumlah budak yang dimiliki di zaman itu dapat menunjukkan status sosial seseorang. Semakin banyak budak yang dimiliki semakin tinggi statusnya. Dalam tradisi kerajaan agrari sebagaian besar budak ditempatkan sebagai pengurus lahan garapan.

Hal inilah pula yang membuat perburuan orang sebagai budak di awal-awal abad 16-17 demikian marak. Para perompak (lanun) kerap turun dari kepulauan Mindanau, Filipina menuju kepulauan Maluku, Nusa Tenggara untuk berburu manusia.

Baca Juga : Lombok dan Jejak Penemuan Teori Evolusi

Dari hasil perniagaan ini Batavia tumbuh sebagai pusat penjualan budak terbesar di Asia Tenggara. C Lekkerkerker dalam Baliers van Batavia pada tahun 1788 terdapat sekitar 13.700 budak asal Bali/Lombok diperjual belikan di Batavia sementara dari Sumbawa tercatat sekitar 1.425 orang.

Di awal abad 19, jual beli Budak mulai berkurang seiring tumbuhnya kesadaran tentang hak asasi manusia. Namun 1814 pasar budak di Sunda Kelapa masih ramai. Bahkan dari 18.972 budak yang bekerja di Batavia sebagian besar diekspor dari Bali, Nusa Tenggara dan Makassar.

H Schulte Nordholt dalam Een Balische Dynastie menaksir sepanjang 1650-1830 diperkirakan Bali-Lombok telah mengekspor setidaknya 150 ribu budak ke Batavia. Saat itu Bali adalah pos ekspor yang menampung budak budak dari Lombok-Sumbawa-NTT sebelum dikirim ke Batavia.

Sejarah panjang perbudakan di Bali dan Nusa Tenggara masih bisa kita lihat dari kosakata yang digunakan. Istilah panjak lazim digunakan untuk golongan masyarakat budak di Bali dan Lombok. Sementara itu dalam literartur lama Sumbawa juga mengenal kata Tau Ulin, istilah ata di Sumba atau ata hao di Flores. Semua itu merujuk orang yang mudah diperjual belikan.

Baca Juga : Lombok hingga Batavia: Perburuan Rempah dan Hasrat Para Penjajah

Mengutip C. Lekkerkerker, I Gede Parimartha dalam Perdagangan dan Politik di Nusa Tenggara 1815-1915 menjelaskan ada beberapa hal yang membuat orang di masa lalu bisa jatuh sebagai budak.

Pertama karena hukuman atas suatu kesalahan yang dijatuhkan oleh raja. Kedua sebagai ganti rugi akibat hutang-hutang yang tak bisa dibayar, ketiga sebagai hukuman karena melarikan diri dari kewajiban perang, kempat menjadi budak karena bersetatus tahanan/rampasan perang.

Kemudian yang kelima seorang pelarian dari daerah lain yang kemudian meminta perlindungan kepada penguasa suatu wilayah. Keenam menjadi budak karena keturunan, tujuh menjadi budak karena hasil pembelian. Kemudian yang terakhir seorang wanita yang ditinggal mati oleh suami tanpa didampingi ahli waris (anak laki-laki). Khusus untuk yang ke terakhir ini dalam hukum yang berlaku di Lombok dan Bali saat itu disebut Hukum Camput.( r2)

 

*) Penulis : Zulhakim, penyuka seni dan budaya tinggal di Ampenan Lombok / Instagram @kedjoule31

Tidak ada komentar:

Posting Komentar